Selasa, 18 September 2012

Makna di Balik Simbol Punakawan


Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan” “Pinangka mrih hamemayu hayuning bawana”

“Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia.
Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya sebagai “ tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam istilah pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.

Makna di Balik Simbol Punakawan
1. Ki Lurah Semar
(simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu.
Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2006hingga 2013. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya. Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambing dari lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.

2. Nala Gareng
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang
menyiratkan makna sbb:
Mata Juling: Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. ustru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.

3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel. Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria. Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
4. Bagong
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang eman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
 
 

Sabtu, 30 Juni 2012

Hari Gini Masih Galau ,,,Oh Tidak!

LELAKI GALAU mungkin lucu didengar, namun sehebat dan sekeras apapun seorang lelaki dalam mengarungi kehidupan pastinya punya kelemahan yang mendasar.
Lazimnya manusia, Lelaki pun memiliki keterbatasan dalam menjalani hidupnya. Bukan saja dalam ketahanan hidup tetapi juga soal urusan cinta. Tak jarang, hal inilah yang menyebabkan mereka terserang stres akut dan akhirnya menyungkurkan diri ke lembah keterpurukan, atau yang sekarang sedang ngetrend disebut virus galau.

Galau sendiri adalah suatu keadaan dimana kita sedang memikirkan suatu masalah secara berlebihan, bingung apa yang harus kita lakukan dengan masalah itu, hingga menimbulkan efek emosi yang labil, pikiran pusing, bahkan mendadak insomnia. Dengan kata lain galau adalah perasaan yang sedang kacau tidak karauan.
Ada beberapa hal yang bisa memunculkan perasaan galau pada lelaki, diantaranya:

Jomblo dalam Waktu Lama
Menjadi lajang dalam waktu lama ternyata tidak saja membuat lelaki kesepian tapi juga terpuruk. Bahkan, biarpun lelaki memiliki banyak teman, namun keinginan untuk memiliki seorang pendamping di sekitar mereka menjadi keinginan terpendam yang ingin segera diwujudkan.

Hubungan yang Tidak Romantis
Setiap pasangan bermimpi memiliki hubungan romantis dengan kekasihnya. Melewati kencan romantis dan hubungan yang harmonis bersama adalah hal yang ingin mereka wujudkan. Meski demikian, adakalanya mimpi ini tidak terwujud karena berbagai faktor. Seringkali, lelaki terjebak pada hubungan pendek yang tak berkomitmen. Hal ini pun semakin memperburuk keinginannya untuk segera memiliki hubungan romantis bersama pasangan idamannya.

Tidak Memahami Potensi Diri

Kegagalan memang selalu menghantui jalinan kisah cinta Anda. Meskipun rentang waktu yang dijalani cukup lama, hal itu tidak menjadi jaminan bahwa hubungan berjalan langgeng. Ketika lelaki gagal menjalani tahap tersebut, biasanya mereka sulit menyadari sisi positif yang dimilikinya. Sebaliknya, mereka menjadi orang yang tidak percaya diri dan selalu merasa kurang. Karakter inilah yang perlu dikikis jika tak ingin stres akut menyerang.

Selasa, 15 Mei 2012

Ajaran Luhur Yang Dicurigai & Dikambinghitamkan

Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai

Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial,  pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.
 Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;

Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.
Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat  mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta.  Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja,  sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.


Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati

Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas  pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.

Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen

Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan

NAFSU

Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ; sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya. 
Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan”.

PAMRIH

     Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya.  Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
     Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu penting Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
  1. Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
  2. Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
  3. Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.

Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.

Kamis, 03 Mei 2012

Sistem kekerabatan Jawa (Genealogis)

wayang fachry
Suku Jawa menganut garis keturunan ayah atau disebut Patrilini/ Patriakhat. Hal ini terlihat dari pemakain nama belakang seseorang sering memakai nama ayah, anak laki-laki juga menjadi kebanggaan keluaraga dan mendapatkan perhatian khusus dibanding anak perempuan karena diyakini seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, dalam hal warispun dikenal anak lanang sa pikul anak wadon sak gendongan. Yang mana jumlah harta waris yang diberikan kepada anak laki-laki diibaratkan sa pikul yang lebih besar dari sa gendongan yang diberikan kepada anak perempuan. Dikenal pula istilah lajer yaitu garis keturunan keluarga laki-laki saja.
Silsilah keturunan jawa
  1. Anak
  2.  Putu
  3. Buyut
  4. Canggah
  5. Wareng
  6. Udheg- udheg
  7. Gantung siwur
  8. Gropak senthe
  9. Kandhang bubrah
  10. Debog bosok
  11. Galih asem
Dalam 7 turunan tersebut masih sapat disebut keluaraga dekat dan keturuanan 8 dan seterusnya merupakan keluarga jauh.
Selain itu juga di kenal Pa jipat lima/ pancer sedulur papt lima pancer yang merupakan saudara orang Jawa saat dilahirkan. Sedulu papat lima pancer ini diambil dari Kitab Kidungan Purwajati seratane , yang dimulai dari tembang Dhandanggula yaitu :

Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang Ing tembang dhuwur iku disebutake yen ” Sedulur Papat ” iku Marmati, Kawah, Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer ing Bayi.

Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati, kakang Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi?. Marmati iku tegese Samar Mati ! lire yen wong wadon pas nggarbini ( hamil ) iku sadina-dina pikirane uwas Samar Mati. Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar Mati iku banjur dianggep minangka Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah sak durunge laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe diarani Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire bayi, sakwise kuwi banjur disusul Metune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan kasebut Adhi Ari-Ari Lamun ana wong abaran tartamtu ngetokake Rah ( Getih ) sapirang-pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir, mula Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser (Tali Plasenta) iku umume PUPAK yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel kuwi uga dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen ” SEDULUR PAPAT LIMA PANCER ” Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa.
Yang intinya sedulur papat tadi melambangkan 4 macam nafsu yang dimiliki manusia
  1. Macan melambangkan nafsu amarah
  2.  Banteng melambangkan nafsu supiyah (seksual)
  3. Kethek(monyet) melambangkan nafsu aluamah (makan tidur)
  4. Merak melambangkan nafsu mutmainah (kebaikan)
Artinya setiap manusia harus bisa mengendalikan keempat nafsu yang dibawanya sejak lahir. Apa bela seorang manusia tidak dapat mengendalikannya maka akan hancurlah hidupnya dan bila nafsu tersebut terkendali dengan baik maka akan tercipta keselarasan atau harmony.

Jawa dan Budaya

“Kuncara Ruming Bangsa Dunumung Haneng Luhuring Budaya” adalah sabda dalem Sinuhun Pakoe Boewono X, yang berarti keharuman suatu bangsa terletak pada keluhuran budayanya. Berpijak dengan hal tersebut di atas memberikan pengertian pula bahwa melestarikan peninggalan budaya adiluhung merupakan kewajiban seluruh komponen masyarakat di era globalisasi.



Dalam dunia wayang purwa ada 4 orang tokoh yang selalu menjadi abdi para Pandhawa yang selalu muncul saat adegan “Gara-gara” yang bernama Panakawan atau biasa disebuit Punakawan. Tokoh Punakawan adalah daya tarik tersendiri karena kelucuannnya. Namun ternyata dibalik itu semua, nama – nama mereka yaitu semar, Gareng, Petruk dan Bagong ternyata memiliki filosofi tersendiri. Mungkin hanya sebagian kecil masyarakat yang tahu bahwa sebenarnya nama – nama mereka berasal dari bahasa arab. Nama mereka berasal dari kata Syimar (=Semar), Khairan (=Gareng), Fatruki (=Petruk) dan Bagho (=Bagong). Jika kata-kata tersebut digabung jadilah “Syimar Khairan, Fatruki Bagho” yang berarti “Sebarkan kebaikan, jauhi kejelekan”. Selain itu salah satu semboyan yang dimiliki oleh Semar yaitu “Begegeg Ugeg Ugeg, Mel Mel Sadulito”. Jadi orang harus kokoh, jangan mudah goyah, harus tetap pendirian. Menuntut ilmu sedikit demi sedikit, tapi tanpa henti. Dari semboyan itu tentu kita sudah tahu apa maksud yang ingin disampaikan kepada kita.
Ternyata jika kita ingin mengkaji lebih dalam, wayang bukan hanya sekedar tontonan jaman kakek dan nenek kita. Banyak filosofi – filosofi yang tersirat di dalamnya. Sayang jika warisan budaya ini tidak kita lestarikan. Jangan sampai budaya yang benuh nilai dan pesan kenormaan ini sampai punah di Generasi Muda ini ataupun diambil alih bangsa lain

Uba Rampe Mantenan

Sehari sebelum pernikahan, biasanya gerbang rumah pengantin perempuan akan dihiasi janur kuning yang terdiri dari berbagai macam tumbuhan dan daun-daunan:

• 2 pohon pisang dengan setandan pisang masak pada masing-masing pohon, melambangkan suami yang akan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan pasangan yang akan hidup baik dan bahagia dimanapun mereka berada (seperti pohon pisang yang mudah tumbuh dimanapun).

• Tebu Wulung atau tebu merah, yang berarti keluarga yang mengutamakan pikiran sehat.

• Cengkir Gading atau buah kelapa muda, yang berarti pasangan suami istri akan saling mencintai dan saling menjagai dan merawat satu sama lain.

• Berbagai macam daun seperti daun beringin, daun mojo-koro, daun alang-alang, dadap serep, sebagai simbol kedua pengantin akan hidup aman dan keluarga mereka terlindung dari mara bahaya.

Selain itu di atas gerbang rumah juga dipasang bekletepe yaitu hiasan dari daun kelapa untuk mengusir roh-roh jahat dan sebagai tanda bahwa ada acara pernikahan sedang berlangsung di tempat tersebut.
Sebelum Tarub dan janur kuning tersebut dipasang, sesajen atau persembahan sesajian biasanya dipersiapkan terlebih dahulu. Sesajian tersebut antara lain terdiri dari: pisang, kelapa, beras, daging sapi, tempe, buah-buahan, roti, bunga, bermacam-macam minuman termasuk jamu, lampu, dan lainnya.
Arti simbolis dari sesajian ini adalah agar diberkati leluhur dan dilindungi dari roh-roh jahat. Sesajian ini diletakkan di tempat-tempat dimana upacara pernikahan akan dilangsungkan, seperti kamar mandi, dapur, pintu gerbang, di bawah Tarub, di jalanan di dekat rumah, dan sebagainya. Dekorasi lain yang dipersiapkan adalah Kembar Mayang yang akan digunakan dalam upacara panggih.

Upacara Siraman
Acara yang dilakukan pada siang hari sebelum Ijab atau upacara pernikahan ini bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau taman keluarga masing-masing dan dilakukan oleh orang tua atau wakil mereka.

Ada tujuh Pitulungan atau penolong (Pitu artinya tujuh)- biasanya tujuh orang yang dianggap baik atau penting - yang membantu acara ini. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari yang jika memungkinkan diambil dari tujuh mata air dan melambangkan kehidupan. Keluarga pengantin perempuan akan mengirim utusan dengan membawa Banyu Perwitosari ke kediaman keluarga pengantin pria dan menuangkannya di dalam rumah pengantin pria.

Acara siraman diawali oleh orang tua dan ditutup oleh Pemaes yang kemudian dilanjutkan dengan memecahkan kendi.
Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum acara dimulai:
• Tempat air dari perunggu atau tembaga yang berisi air dari tujuh mata air.
• Kembang setaman yaitu bunga-bunga seperti mawar, melati, cempaka, kenanga, yang ditaruh di air.
• Aroma lima warna yang digunakan sebagai sabun.
• Sabun cuci rambut tradisional dari abu dari merang, santan, dan air asam Jawa.
• Gayung yang berasal dari kulit kelapa sebagai ciduk air.
• Kursi yang dilapisi tikar, kain putih, dedaunan, kain lurik untuk tempat duduk pengantin selama prosesi berlangsung.
• Kain putih untuk dipakai selama upacara siraman.
• Baju batik untuk dipakai setelah uparaca siraman.
• Kendi.
• Sesajian
Sesajian merupakan hal yang dianggap penting dalam upacara Jawa. Sesajian untuk siraman terdiri dari berbagai macam sajian:
• Tumpeng Robyong, nasi kuning dengan hiasan-hiasan.
• Tumpeng Gundhul, nasi kuning tanpa hiasan.
• Makanan seperti ayam, tahu, telur.
• Buah-buahan seperti pisang dan lain-lain.
• Kelapan muda.
• Tujuh macam bubur.
• Jajanan seperti kue manis, lemper, cendol.
• Seekor ayam jago
• Lampu lentera
• Kembang Telon - tiga macam bunga (kenanga, melati, cempaka).

KEMBAR MAYANG

Kembar mayang adalah dua hiasan yang terbentuk sama(kembar),terbuat dari janur kuning yang sihias dengan berbagai macam susunan buah-buahan,sebagai salah satu syarat utama dalam upacara pernikahan adat jawa.Kedua kembar mayang itu melambangkan calon mempelai wanita.Kembar mayang juga menyiratkan makna kesamaan calon mempelai berdua,kembar(sama) cinta kasihnya,kesamaan cipta(pikiran),rasa(perasaan) dan karsa(kehendak).Kembar mayang juga disebut sebagai Kalpataru,terdiri atas Jayandaru,dan dewa daru,merupakan pohon kehidupan atau pohon keabadian.Jayandaru dan dewa daru sebagai simbol ketentraman dan keselamatan,sehingga kembar mayang sebagai sarana penolak bala agar segala acara pelaksanaan upacara pernikahan sejak persiapan,pelaksanaan hingga selesai dapat terlaksana dengan lancar,sukses dan selamat.Dalam membuat kembar mayang sering dilengkapi dengan sepasang degan(kelapa muda).Hiasan kembar mayang juga dilengkapi wujud burung,dan hiasan burung ini dibuat semenjak Dewi Nawangsih akan menikah.Agar Dewi Nawangsih semakin cantik akan direstui dan dihias oleh ibunya bernama Dewi Nawangwulan.Sebagai sarana agar Dewi Nawangwulan berkenan hadir di pesta pernikahan,kembar mayang diberi hiasan burung.Di dalam masyarakat Jawa upacara mencari kembar mayang serimg disebut dengan istilah tumedhak kembar nayang,yaitu turunya kembae mayang .Kenbar mayang sebenarnya merupakan simbol dari wahyu jodho yang hanya bileh dipinjamsaat pernikahan,maka setelah selesai perayaan pernikahan harus dikembalikan dengan cara dibuang diperempatan jalan/dihanyutkan ke sungai.

Hal-hal yang ada kaitannya dengan kembar mayang antara lain:
• Janur :daun kelapa muda yang berwarna kuning sebagai simbol keagungan/hidayah Tuhan,dan janur.
• Mayang :nama bunga jambe atau sesuatu yang maya-may(indah)dipandang.
• Satriya :Seorang satriya yang bertugas mencari kembar mayang,dan biasa disebut Ki Sarayajati.
• Cantrik :Seorang abdi yang sedang menunggu sekar mancawarna(Kembar mayang).
• Pandhita :Seorang Brahmana yang sering disebut Ki Wasitajati dan pemilik kembar mayang tersebut.

Berdasarkan ceritera wayang purwa dalam dalam lakonPartakrama Kembar Mayang merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Premadi untuk dapat memperisti Wara Sembadra.Makna yang terkandung dalam kembar mayang adalah sebuah harapan agar kedua mempelai senantiasa bersatu,seiring setujuan dalam mencapai kebahagiaan hidup dan tidak berselisih pendapat selsms mengarungi bahtera kehidupan runah tangga.

Sabtu, 21 April 2012

Ibu Kartini Dan Putri Indonesia


Matahari sudah lewat ubun-ubun waktu Damin  dan Istrinya Marinah melintasi sebuah kawasan pertokoan di ibukota kecamatan. Mereka baru saja menjual hasil kebun mereka ke pasar, sekalian belanja keperluan sehari-hari yang sebetulnya tidak terlalu banyak. Damin  dan Istrinya Marinah hanya hidup berdua, kebutuhan sehari-hari soal makanan sudah hampir tercukupi oleh hasil kebun dan sawah mereka. Tapi sesekali kan boleh saja mereka merasakan kenikmatan jenis lain, makan masakan warung atau belanja baju baru.

Dari jejeran ruko itu, keluarlah seorang ibu yang menuntun anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahunan. Mereka baru saja keluar dari sebuah salon yang melayani jasa rias pengantin dan penyewaan pakaian. Si anak tampak tidak terlihat senang, dan ibunya kelihatan bingung, apalagi si anak kelihatan merajuk. “Besok pake kaen Emak saja ya, bajunya batik yang bekas lebaran kemarin, nanti rambutnya dikepang saja sama Teh Isah…” kata si Ibu. Tapi si anak mandeg, nggak mau jalan, “Tapi temen-temen Titin yang lain pake kebaya Ma, nyewa dari salon… kan malu kalo Titin sendiri yang nggak pake kebaya…” kata si Anak.

Si Ibu berjongkok di depan anaknya, mencoba memberi penjelasan, “Iya, tapi uang Ema nggak cukup, masak nyewa kabaya sasetel empat puluh rebu. Uang dari Bapa saja tadi Cuma lima puluh rebu, sudah keambil ongkos sama makan baso tadi…” kata si Ibu. Si Anak tetep manyun, “Ya Ema balik dulu, minta lagi duitnya sama Bapa…” katanya. Si Ibu menggeleng-geleng, “Teu aya deui (nggak ada lagi) Neng, Bapa belum gajihan, gajihannya masih sepuluh hari lagi…” kata si Ibu lagi.

Marinah  yang sempat mendengarkan percakapan itu, tertarik untuk mendekat dan bertanya, “Ada apa Bu?” tanyanya. Sudah lama ia memang mendambakan seorang anak yang hingga saat ini belum didapatkannya. Iteung lalu bertanya pada si Ibu. Bagi masyarakat di pedesaan atau di kota kecil seperti itu, bertanya seperti itu tidak akan dianggap sebagai ikut campur. Mungkin lain halnya dengan di kota besar, yang bisa saja malah dianggap usil dan ditanggapi salah. Buktinya, waktu ditanya, si Ibu tersenyum pada Iteung dan menjawab, “Ah biasa Neng, ini anak saya besok harus ikut Kartinian di sekolahnya. Tapi disuruh pake baju kebaya. Ini mau nyewa harganya mahal pisan, satu setelnya empat puluh ribu seharian. Sudah saya tawar dua puluh rebu sampe pulang sekolah dikembalikan, salonnya nggak mau…” jawab si Ibu.

“Memangnya harus pake kabaya ya Bu?” tanya Marinah. Si Ibu menggeleng, “Ya enggak sih Neng, yang penting pake pakean adat. Tapi pakean adat yang daerah lain malah lebih mahal sewanya…” jawab si Ibu lagi. “Tiap taun Kartiniannya?” tanya Marinah polos. Si Ibu mengangguk, “Ya iya lah Neng, tiap taun, kayak agustusan…” jawab si Ibu sambil tersenyum. “Maksud saya, kalo tiap taun, kenapa nggak beli aja sekalian baju kebayanya?” tanya Iteung lagi.

Damin  yang ada di deka situ menimpali istrinya, “Kamu teh gimana Marinah, nyewa aja mahal, apalagi beli!” kata Damin. Marinah melirik suaminya, “Maksudnya, kalau beli kan bisa dipake tiap taun, jadi nggak usah nyewa terus…” jawab Marinah. Si Ibu menimpali, “Maunya sih begitu Neng, tapi kalo beli juga percuma, taun depan bajunya pasti nggak muat lagi…” kata si Ibu.

Marinah mengangguk-angguk, “Oooh iya yah. Kalau cuma dipake setaun sekali kan sayang bajunya, pas mau dipake sudah nggak muat. Kenapa Kartiniannya nggak tiap minggu aja ya, kayak upacara…” kata si Marinah, entah polos entah oon. Damin langsung menarik tangan istrinya, “Ngaco kamu mah ah, masak Kartinian tiap minggu. Ibu Kartini kan ulang tahunnya setahun sekali. Makanya pake kebayanya juga setaun sekali!” kata Damin.

Marinah masih bingung, “Kenapa Ibu Kartini yang ulang tahun, tapi anak-anak harus pake kebaya?” tanya Marinah lagi. Damin gemes melihat kelakuan istrinya itu. “Ibu Kartini teh pahlawan Marinah, pahlawan wanita Indonesia. Nah untuk memperingati jasanya, tiap hari kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini, terus biasanya anak-anak disuruh pake pakean daerah, ikut pawey, karnapal, lomba…” kata Damin.

Marinah menggerutu, “Iya, saya juga tau Ibu Kartini teh pahlawan Kang. Tapi kan yang namanya pahlawan itu membantu orang, bukan malah nyusahin orang. Masak gara-gara dia pahlawan, semua orang harus pake kabaya, pan repot!” kata Marinah lagi. Si Ibu keliatan geleng-geleng kepala sambil mesam-mesem. Damin  yang justru malah tambah jengkel, “Yang salah itu bukan Ibu Kartininya Marinah, tapi sekolah yang nyuruh muridnya pake pakean adat, dan nggak liat-liat kemampuan orang tuanya. Kalo mau bikin peringatan Ibu Kartini, kan bisa pake cara lain, nggak cuma sekadar pake kabaya!” kata Damin.

“Iya Kang, saya juga bingung, jangan-jangan anak-anak malah nggak tau siapa…” timpal si Ibu. Ia lalu melirik anaknya, “Titin tau siapa Ibu Kartini?” tanyanya. Titin langsung menjawab, “Ya tau atuh Bu, kan ada lagunya. Titin juga apal lagunya…” jawabnya. “Iya, siapa Ibu Kartini teh?” tanya ibunya lagi yang jadi terusik pengen tau gara-gara obrolannya dengan Kabayan dan Iteung. “Itu, Putri Indonesia yang namanya Harum!” jawab Titin. Ibunya langsung geleng-geleng dan menepuk kepalanya sendiri, “Saya malah jadi tambah males nyewain baju kabaya itu Kang, kalo begini jadinya…” katanya sambil melirik Damin.

Damin hampir saja ngomong, tapi Marinah sudah memotong, “Udah, nyewa aja Neng, ini Bibi kasih uangnya. Siapa tau besok Neng bisa jadi Putri Indonesia, kan bisa terkenal kayak Ibu Kartini atau Enjelina Sondah!” kata Marinah sambil menyerahkan duit lima puluh rebu selembar pada anak perempuan itu. Anaknya jelas gembira, ibunya yang bingung, dan Damin  jelas sebel!

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More