Selasa, 15 Mei 2012

Ajaran Luhur Yang Dicurigai & Dikambinghitamkan

Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai

Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial,  pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.
 Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;

Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.
Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat  mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta.  Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja,  sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.


Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati

Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas  pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.

Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen

Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan

NAFSU

Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ; sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya. 
Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan”.

PAMRIH

     Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya.  Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
     Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu penting Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
  1. Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
  2. Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
  3. Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.

Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.

Kamis, 03 Mei 2012

Sistem kekerabatan Jawa (Genealogis)

wayang fachry
Suku Jawa menganut garis keturunan ayah atau disebut Patrilini/ Patriakhat. Hal ini terlihat dari pemakain nama belakang seseorang sering memakai nama ayah, anak laki-laki juga menjadi kebanggaan keluaraga dan mendapatkan perhatian khusus dibanding anak perempuan karena diyakini seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, dalam hal warispun dikenal anak lanang sa pikul anak wadon sak gendongan. Yang mana jumlah harta waris yang diberikan kepada anak laki-laki diibaratkan sa pikul yang lebih besar dari sa gendongan yang diberikan kepada anak perempuan. Dikenal pula istilah lajer yaitu garis keturunan keluarga laki-laki saja.
Silsilah keturunan jawa
  1. Anak
  2.  Putu
  3. Buyut
  4. Canggah
  5. Wareng
  6. Udheg- udheg
  7. Gantung siwur
  8. Gropak senthe
  9. Kandhang bubrah
  10. Debog bosok
  11. Galih asem
Dalam 7 turunan tersebut masih sapat disebut keluaraga dekat dan keturuanan 8 dan seterusnya merupakan keluarga jauh.
Selain itu juga di kenal Pa jipat lima/ pancer sedulur papt lima pancer yang merupakan saudara orang Jawa saat dilahirkan. Sedulu papat lima pancer ini diambil dari Kitab Kidungan Purwajati seratane , yang dimulai dari tembang Dhandanggula yaitu :

Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang Ing tembang dhuwur iku disebutake yen ” Sedulur Papat ” iku Marmati, Kawah, Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer ing Bayi.

Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati, kakang Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi?. Marmati iku tegese Samar Mati ! lire yen wong wadon pas nggarbini ( hamil ) iku sadina-dina pikirane uwas Samar Mati. Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar Mati iku banjur dianggep minangka Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah sak durunge laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe diarani Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire bayi, sakwise kuwi banjur disusul Metune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan kasebut Adhi Ari-Ari Lamun ana wong abaran tartamtu ngetokake Rah ( Getih ) sapirang-pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir, mula Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser (Tali Plasenta) iku umume PUPAK yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel kuwi uga dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen ” SEDULUR PAPAT LIMA PANCER ” Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa.
Yang intinya sedulur papat tadi melambangkan 4 macam nafsu yang dimiliki manusia
  1. Macan melambangkan nafsu amarah
  2.  Banteng melambangkan nafsu supiyah (seksual)
  3. Kethek(monyet) melambangkan nafsu aluamah (makan tidur)
  4. Merak melambangkan nafsu mutmainah (kebaikan)
Artinya setiap manusia harus bisa mengendalikan keempat nafsu yang dibawanya sejak lahir. Apa bela seorang manusia tidak dapat mengendalikannya maka akan hancurlah hidupnya dan bila nafsu tersebut terkendali dengan baik maka akan tercipta keselarasan atau harmony.

Jawa dan Budaya

“Kuncara Ruming Bangsa Dunumung Haneng Luhuring Budaya” adalah sabda dalem Sinuhun Pakoe Boewono X, yang berarti keharuman suatu bangsa terletak pada keluhuran budayanya. Berpijak dengan hal tersebut di atas memberikan pengertian pula bahwa melestarikan peninggalan budaya adiluhung merupakan kewajiban seluruh komponen masyarakat di era globalisasi.



Dalam dunia wayang purwa ada 4 orang tokoh yang selalu menjadi abdi para Pandhawa yang selalu muncul saat adegan “Gara-gara” yang bernama Panakawan atau biasa disebuit Punakawan. Tokoh Punakawan adalah daya tarik tersendiri karena kelucuannnya. Namun ternyata dibalik itu semua, nama – nama mereka yaitu semar, Gareng, Petruk dan Bagong ternyata memiliki filosofi tersendiri. Mungkin hanya sebagian kecil masyarakat yang tahu bahwa sebenarnya nama – nama mereka berasal dari bahasa arab. Nama mereka berasal dari kata Syimar (=Semar), Khairan (=Gareng), Fatruki (=Petruk) dan Bagho (=Bagong). Jika kata-kata tersebut digabung jadilah “Syimar Khairan, Fatruki Bagho” yang berarti “Sebarkan kebaikan, jauhi kejelekan”. Selain itu salah satu semboyan yang dimiliki oleh Semar yaitu “Begegeg Ugeg Ugeg, Mel Mel Sadulito”. Jadi orang harus kokoh, jangan mudah goyah, harus tetap pendirian. Menuntut ilmu sedikit demi sedikit, tapi tanpa henti. Dari semboyan itu tentu kita sudah tahu apa maksud yang ingin disampaikan kepada kita.
Ternyata jika kita ingin mengkaji lebih dalam, wayang bukan hanya sekedar tontonan jaman kakek dan nenek kita. Banyak filosofi – filosofi yang tersirat di dalamnya. Sayang jika warisan budaya ini tidak kita lestarikan. Jangan sampai budaya yang benuh nilai dan pesan kenormaan ini sampai punah di Generasi Muda ini ataupun diambil alih bangsa lain

Uba Rampe Mantenan

Sehari sebelum pernikahan, biasanya gerbang rumah pengantin perempuan akan dihiasi janur kuning yang terdiri dari berbagai macam tumbuhan dan daun-daunan:

• 2 pohon pisang dengan setandan pisang masak pada masing-masing pohon, melambangkan suami yang akan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan pasangan yang akan hidup baik dan bahagia dimanapun mereka berada (seperti pohon pisang yang mudah tumbuh dimanapun).

• Tebu Wulung atau tebu merah, yang berarti keluarga yang mengutamakan pikiran sehat.

• Cengkir Gading atau buah kelapa muda, yang berarti pasangan suami istri akan saling mencintai dan saling menjagai dan merawat satu sama lain.

• Berbagai macam daun seperti daun beringin, daun mojo-koro, daun alang-alang, dadap serep, sebagai simbol kedua pengantin akan hidup aman dan keluarga mereka terlindung dari mara bahaya.

Selain itu di atas gerbang rumah juga dipasang bekletepe yaitu hiasan dari daun kelapa untuk mengusir roh-roh jahat dan sebagai tanda bahwa ada acara pernikahan sedang berlangsung di tempat tersebut.
Sebelum Tarub dan janur kuning tersebut dipasang, sesajen atau persembahan sesajian biasanya dipersiapkan terlebih dahulu. Sesajian tersebut antara lain terdiri dari: pisang, kelapa, beras, daging sapi, tempe, buah-buahan, roti, bunga, bermacam-macam minuman termasuk jamu, lampu, dan lainnya.
Arti simbolis dari sesajian ini adalah agar diberkati leluhur dan dilindungi dari roh-roh jahat. Sesajian ini diletakkan di tempat-tempat dimana upacara pernikahan akan dilangsungkan, seperti kamar mandi, dapur, pintu gerbang, di bawah Tarub, di jalanan di dekat rumah, dan sebagainya. Dekorasi lain yang dipersiapkan adalah Kembar Mayang yang akan digunakan dalam upacara panggih.

Upacara Siraman
Acara yang dilakukan pada siang hari sebelum Ijab atau upacara pernikahan ini bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau taman keluarga masing-masing dan dilakukan oleh orang tua atau wakil mereka.

Ada tujuh Pitulungan atau penolong (Pitu artinya tujuh)- biasanya tujuh orang yang dianggap baik atau penting - yang membantu acara ini. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari yang jika memungkinkan diambil dari tujuh mata air dan melambangkan kehidupan. Keluarga pengantin perempuan akan mengirim utusan dengan membawa Banyu Perwitosari ke kediaman keluarga pengantin pria dan menuangkannya di dalam rumah pengantin pria.

Acara siraman diawali oleh orang tua dan ditutup oleh Pemaes yang kemudian dilanjutkan dengan memecahkan kendi.
Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum acara dimulai:
• Tempat air dari perunggu atau tembaga yang berisi air dari tujuh mata air.
• Kembang setaman yaitu bunga-bunga seperti mawar, melati, cempaka, kenanga, yang ditaruh di air.
• Aroma lima warna yang digunakan sebagai sabun.
• Sabun cuci rambut tradisional dari abu dari merang, santan, dan air asam Jawa.
• Gayung yang berasal dari kulit kelapa sebagai ciduk air.
• Kursi yang dilapisi tikar, kain putih, dedaunan, kain lurik untuk tempat duduk pengantin selama prosesi berlangsung.
• Kain putih untuk dipakai selama upacara siraman.
• Baju batik untuk dipakai setelah uparaca siraman.
• Kendi.
• Sesajian
Sesajian merupakan hal yang dianggap penting dalam upacara Jawa. Sesajian untuk siraman terdiri dari berbagai macam sajian:
• Tumpeng Robyong, nasi kuning dengan hiasan-hiasan.
• Tumpeng Gundhul, nasi kuning tanpa hiasan.
• Makanan seperti ayam, tahu, telur.
• Buah-buahan seperti pisang dan lain-lain.
• Kelapan muda.
• Tujuh macam bubur.
• Jajanan seperti kue manis, lemper, cendol.
• Seekor ayam jago
• Lampu lentera
• Kembang Telon - tiga macam bunga (kenanga, melati, cempaka).

KEMBAR MAYANG

Kembar mayang adalah dua hiasan yang terbentuk sama(kembar),terbuat dari janur kuning yang sihias dengan berbagai macam susunan buah-buahan,sebagai salah satu syarat utama dalam upacara pernikahan adat jawa.Kedua kembar mayang itu melambangkan calon mempelai wanita.Kembar mayang juga menyiratkan makna kesamaan calon mempelai berdua,kembar(sama) cinta kasihnya,kesamaan cipta(pikiran),rasa(perasaan) dan karsa(kehendak).Kembar mayang juga disebut sebagai Kalpataru,terdiri atas Jayandaru,dan dewa daru,merupakan pohon kehidupan atau pohon keabadian.Jayandaru dan dewa daru sebagai simbol ketentraman dan keselamatan,sehingga kembar mayang sebagai sarana penolak bala agar segala acara pelaksanaan upacara pernikahan sejak persiapan,pelaksanaan hingga selesai dapat terlaksana dengan lancar,sukses dan selamat.Dalam membuat kembar mayang sering dilengkapi dengan sepasang degan(kelapa muda).Hiasan kembar mayang juga dilengkapi wujud burung,dan hiasan burung ini dibuat semenjak Dewi Nawangsih akan menikah.Agar Dewi Nawangsih semakin cantik akan direstui dan dihias oleh ibunya bernama Dewi Nawangwulan.Sebagai sarana agar Dewi Nawangwulan berkenan hadir di pesta pernikahan,kembar mayang diberi hiasan burung.Di dalam masyarakat Jawa upacara mencari kembar mayang serimg disebut dengan istilah tumedhak kembar nayang,yaitu turunya kembae mayang .Kenbar mayang sebenarnya merupakan simbol dari wahyu jodho yang hanya bileh dipinjamsaat pernikahan,maka setelah selesai perayaan pernikahan harus dikembalikan dengan cara dibuang diperempatan jalan/dihanyutkan ke sungai.

Hal-hal yang ada kaitannya dengan kembar mayang antara lain:
• Janur :daun kelapa muda yang berwarna kuning sebagai simbol keagungan/hidayah Tuhan,dan janur.
• Mayang :nama bunga jambe atau sesuatu yang maya-may(indah)dipandang.
• Satriya :Seorang satriya yang bertugas mencari kembar mayang,dan biasa disebut Ki Sarayajati.
• Cantrik :Seorang abdi yang sedang menunggu sekar mancawarna(Kembar mayang).
• Pandhita :Seorang Brahmana yang sering disebut Ki Wasitajati dan pemilik kembar mayang tersebut.

Berdasarkan ceritera wayang purwa dalam dalam lakonPartakrama Kembar Mayang merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Premadi untuk dapat memperisti Wara Sembadra.Makna yang terkandung dalam kembar mayang adalah sebuah harapan agar kedua mempelai senantiasa bersatu,seiring setujuan dalam mencapai kebahagiaan hidup dan tidak berselisih pendapat selsms mengarungi bahtera kehidupan runah tangga.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More