Matahari sudah lewat ubun-ubun waktu Damin dan Istrinya Marinah melintasi sebuah kawasan
pertokoan di ibukota kecamatan. Mereka baru saja menjual hasil kebun mereka ke
pasar, sekalian belanja keperluan sehari-hari yang sebetulnya tidak terlalu banyak.
Damin dan Istrinya Marinah hanya hidup
berdua, kebutuhan sehari-hari soal makanan sudah hampir tercukupi oleh hasil
kebun dan sawah mereka. Tapi sesekali kan boleh saja mereka merasakan
kenikmatan jenis lain, makan masakan warung atau belanja baju baru.
Dari jejeran ruko itu, keluarlah seorang ibu yang menuntun
anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahunan. Mereka baru saja keluar
dari sebuah salon yang melayani jasa rias pengantin dan penyewaan pakaian. Si
anak tampak tidak terlihat senang, dan ibunya kelihatan bingung, apalagi si
anak kelihatan merajuk. “Besok pake kaen Emak saja ya, bajunya batik yang bekas
lebaran kemarin, nanti rambutnya dikepang saja sama Teh Isah…” kata si Ibu.
Tapi si anak mandeg, nggak mau jalan, “Tapi temen-temen Titin yang lain pake
kebaya Ma, nyewa dari salon… kan malu kalo Titin sendiri yang nggak pake
kebaya…” kata si Anak.
Si Ibu berjongkok di depan anaknya, mencoba memberi
penjelasan, “Iya, tapi uang Ema nggak cukup, masak nyewa kabaya sasetel empat
puluh rebu. Uang dari Bapa saja tadi Cuma lima puluh rebu, sudah keambil ongkos
sama makan baso tadi…” kata si Ibu. Si Anak tetep manyun, “Ya Ema balik dulu,
minta lagi duitnya sama Bapa…” katanya. Si Ibu menggeleng-geleng, “Teu aya deui
(nggak ada lagi) Neng, Bapa belum gajihan, gajihannya masih sepuluh hari lagi…”
kata si Ibu lagi.
Marinah yang sempat
mendengarkan percakapan itu, tertarik untuk mendekat dan bertanya, “Ada apa
Bu?” tanyanya. Sudah lama ia memang mendambakan seorang anak yang hingga saat
ini belum didapatkannya. Iteung lalu bertanya pada si Ibu. Bagi masyarakat di
pedesaan atau di kota kecil seperti itu, bertanya seperti itu tidak akan
dianggap sebagai ikut campur. Mungkin lain halnya dengan di kota besar, yang
bisa saja malah dianggap usil dan ditanggapi salah. Buktinya, waktu ditanya, si
Ibu tersenyum pada Iteung dan menjawab, “Ah biasa Neng, ini anak saya besok
harus ikut Kartinian di sekolahnya. Tapi disuruh pake baju kebaya. Ini mau
nyewa harganya mahal pisan, satu setelnya empat puluh ribu seharian. Sudah saya
tawar dua puluh rebu sampe pulang sekolah dikembalikan, salonnya nggak mau…”
jawab si Ibu.
“Memangnya harus pake kabaya ya Bu?” tanya Marinah. Si Ibu
menggeleng, “Ya enggak sih Neng, yang penting pake pakean adat. Tapi pakean
adat yang daerah lain malah lebih mahal sewanya…” jawab si Ibu lagi. “Tiap taun
Kartiniannya?” tanya Marinah polos. Si Ibu mengangguk, “Ya iya lah Neng, tiap
taun, kayak agustusan…” jawab si Ibu sambil tersenyum. “Maksud saya, kalo tiap
taun, kenapa nggak beli aja sekalian baju kebayanya?” tanya Iteung lagi.
Damin yang ada di
deka situ menimpali istrinya, “Kamu teh gimana Marinah, nyewa aja mahal,
apalagi beli!” kata Damin. Marinah melirik suaminya, “Maksudnya, kalau beli kan
bisa dipake tiap taun, jadi nggak usah nyewa terus…” jawab Marinah. Si Ibu
menimpali, “Maunya sih begitu Neng, tapi kalo beli juga percuma, taun depan
bajunya pasti nggak muat lagi…” kata si Ibu.
Marinah mengangguk-angguk, “Oooh iya yah. Kalau cuma dipake
setaun sekali kan sayang bajunya, pas mau dipake sudah nggak muat. Kenapa
Kartiniannya nggak tiap minggu aja ya, kayak upacara…” kata si Marinah, entah
polos entah oon. Damin langsung menarik tangan istrinya, “Ngaco kamu mah ah,
masak Kartinian tiap minggu. Ibu Kartini kan ulang tahunnya setahun sekali.
Makanya pake kebayanya juga setaun sekali!” kata Damin.
Marinah masih bingung, “Kenapa Ibu Kartini yang ulang tahun,
tapi anak-anak harus pake kebaya?” tanya Marinah lagi. Damin gemes melihat
kelakuan istrinya itu. “Ibu Kartini teh pahlawan Marinah, pahlawan wanita
Indonesia. Nah untuk memperingati jasanya, tiap hari kelahirannya diperingati
sebagai hari Kartini, terus biasanya anak-anak disuruh pake pakean daerah, ikut
pawey, karnapal, lomba…” kata Damin.
Marinah menggerutu, “Iya, saya juga tau Ibu Kartini teh pahlawan
Kang. Tapi kan yang namanya pahlawan itu membantu orang, bukan malah nyusahin
orang. Masak gara-gara dia pahlawan, semua orang harus pake kabaya, pan repot!”
kata Marinah lagi. Si Ibu keliatan geleng-geleng kepala sambil mesam-mesem. Damin
yang justru malah tambah jengkel, “Yang
salah itu bukan Ibu Kartininya Marinah, tapi sekolah yang nyuruh muridnya pake
pakean adat, dan nggak liat-liat kemampuan orang tuanya. Kalo mau bikin
peringatan Ibu Kartini, kan bisa pake cara lain, nggak cuma sekadar pake
kabaya!” kata Damin.
“Iya Kang, saya juga bingung, jangan-jangan anak-anak malah
nggak tau siapa…” timpal si Ibu. Ia lalu melirik anaknya, “Titin tau siapa Ibu
Kartini?” tanyanya. Titin langsung menjawab, “Ya tau atuh Bu, kan ada lagunya.
Titin juga apal lagunya…” jawabnya. “Iya, siapa Ibu Kartini teh?” tanya ibunya
lagi yang jadi terusik pengen tau gara-gara obrolannya dengan Kabayan dan
Iteung. “Itu, Putri Indonesia yang namanya Harum!” jawab Titin. Ibunya langsung
geleng-geleng dan menepuk kepalanya sendiri, “Saya malah jadi tambah males
nyewain baju kabaya itu Kang, kalo begini jadinya…” katanya sambil melirik Damin.
Damin hampir saja ngomong, tapi Marinah sudah memotong,
“Udah, nyewa aja Neng, ini Bibi kasih uangnya. Siapa tau besok Neng bisa jadi
Putri Indonesia, kan bisa terkenal kayak Ibu Kartini atau Enjelina Sondah!”
kata Marinah sambil menyerahkan duit lima puluh rebu selembar pada anak
perempuan itu. Anaknya jelas gembira, ibunya yang bingung, dan Damin jelas sebel!
0 komentar:
Posting Komentar