Sabtu, 21 April 2012

Ibu Kartini Dan Putri Indonesia


Matahari sudah lewat ubun-ubun waktu Damin  dan Istrinya Marinah melintasi sebuah kawasan pertokoan di ibukota kecamatan. Mereka baru saja menjual hasil kebun mereka ke pasar, sekalian belanja keperluan sehari-hari yang sebetulnya tidak terlalu banyak. Damin  dan Istrinya Marinah hanya hidup berdua, kebutuhan sehari-hari soal makanan sudah hampir tercukupi oleh hasil kebun dan sawah mereka. Tapi sesekali kan boleh saja mereka merasakan kenikmatan jenis lain, makan masakan warung atau belanja baju baru.

Dari jejeran ruko itu, keluarlah seorang ibu yang menuntun anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahunan. Mereka baru saja keluar dari sebuah salon yang melayani jasa rias pengantin dan penyewaan pakaian. Si anak tampak tidak terlihat senang, dan ibunya kelihatan bingung, apalagi si anak kelihatan merajuk. “Besok pake kaen Emak saja ya, bajunya batik yang bekas lebaran kemarin, nanti rambutnya dikepang saja sama Teh Isah…” kata si Ibu. Tapi si anak mandeg, nggak mau jalan, “Tapi temen-temen Titin yang lain pake kebaya Ma, nyewa dari salon… kan malu kalo Titin sendiri yang nggak pake kebaya…” kata si Anak.

Si Ibu berjongkok di depan anaknya, mencoba memberi penjelasan, “Iya, tapi uang Ema nggak cukup, masak nyewa kabaya sasetel empat puluh rebu. Uang dari Bapa saja tadi Cuma lima puluh rebu, sudah keambil ongkos sama makan baso tadi…” kata si Ibu. Si Anak tetep manyun, “Ya Ema balik dulu, minta lagi duitnya sama Bapa…” katanya. Si Ibu menggeleng-geleng, “Teu aya deui (nggak ada lagi) Neng, Bapa belum gajihan, gajihannya masih sepuluh hari lagi…” kata si Ibu lagi.

Marinah  yang sempat mendengarkan percakapan itu, tertarik untuk mendekat dan bertanya, “Ada apa Bu?” tanyanya. Sudah lama ia memang mendambakan seorang anak yang hingga saat ini belum didapatkannya. Iteung lalu bertanya pada si Ibu. Bagi masyarakat di pedesaan atau di kota kecil seperti itu, bertanya seperti itu tidak akan dianggap sebagai ikut campur. Mungkin lain halnya dengan di kota besar, yang bisa saja malah dianggap usil dan ditanggapi salah. Buktinya, waktu ditanya, si Ibu tersenyum pada Iteung dan menjawab, “Ah biasa Neng, ini anak saya besok harus ikut Kartinian di sekolahnya. Tapi disuruh pake baju kebaya. Ini mau nyewa harganya mahal pisan, satu setelnya empat puluh ribu seharian. Sudah saya tawar dua puluh rebu sampe pulang sekolah dikembalikan, salonnya nggak mau…” jawab si Ibu.

“Memangnya harus pake kabaya ya Bu?” tanya Marinah. Si Ibu menggeleng, “Ya enggak sih Neng, yang penting pake pakean adat. Tapi pakean adat yang daerah lain malah lebih mahal sewanya…” jawab si Ibu lagi. “Tiap taun Kartiniannya?” tanya Marinah polos. Si Ibu mengangguk, “Ya iya lah Neng, tiap taun, kayak agustusan…” jawab si Ibu sambil tersenyum. “Maksud saya, kalo tiap taun, kenapa nggak beli aja sekalian baju kebayanya?” tanya Iteung lagi.

Damin  yang ada di deka situ menimpali istrinya, “Kamu teh gimana Marinah, nyewa aja mahal, apalagi beli!” kata Damin. Marinah melirik suaminya, “Maksudnya, kalau beli kan bisa dipake tiap taun, jadi nggak usah nyewa terus…” jawab Marinah. Si Ibu menimpali, “Maunya sih begitu Neng, tapi kalo beli juga percuma, taun depan bajunya pasti nggak muat lagi…” kata si Ibu.

Marinah mengangguk-angguk, “Oooh iya yah. Kalau cuma dipake setaun sekali kan sayang bajunya, pas mau dipake sudah nggak muat. Kenapa Kartiniannya nggak tiap minggu aja ya, kayak upacara…” kata si Marinah, entah polos entah oon. Damin langsung menarik tangan istrinya, “Ngaco kamu mah ah, masak Kartinian tiap minggu. Ibu Kartini kan ulang tahunnya setahun sekali. Makanya pake kebayanya juga setaun sekali!” kata Damin.

Marinah masih bingung, “Kenapa Ibu Kartini yang ulang tahun, tapi anak-anak harus pake kebaya?” tanya Marinah lagi. Damin gemes melihat kelakuan istrinya itu. “Ibu Kartini teh pahlawan Marinah, pahlawan wanita Indonesia. Nah untuk memperingati jasanya, tiap hari kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini, terus biasanya anak-anak disuruh pake pakean daerah, ikut pawey, karnapal, lomba…” kata Damin.

Marinah menggerutu, “Iya, saya juga tau Ibu Kartini teh pahlawan Kang. Tapi kan yang namanya pahlawan itu membantu orang, bukan malah nyusahin orang. Masak gara-gara dia pahlawan, semua orang harus pake kabaya, pan repot!” kata Marinah lagi. Si Ibu keliatan geleng-geleng kepala sambil mesam-mesem. Damin  yang justru malah tambah jengkel, “Yang salah itu bukan Ibu Kartininya Marinah, tapi sekolah yang nyuruh muridnya pake pakean adat, dan nggak liat-liat kemampuan orang tuanya. Kalo mau bikin peringatan Ibu Kartini, kan bisa pake cara lain, nggak cuma sekadar pake kabaya!” kata Damin.

“Iya Kang, saya juga bingung, jangan-jangan anak-anak malah nggak tau siapa…” timpal si Ibu. Ia lalu melirik anaknya, “Titin tau siapa Ibu Kartini?” tanyanya. Titin langsung menjawab, “Ya tau atuh Bu, kan ada lagunya. Titin juga apal lagunya…” jawabnya. “Iya, siapa Ibu Kartini teh?” tanya ibunya lagi yang jadi terusik pengen tau gara-gara obrolannya dengan Kabayan dan Iteung. “Itu, Putri Indonesia yang namanya Harum!” jawab Titin. Ibunya langsung geleng-geleng dan menepuk kepalanya sendiri, “Saya malah jadi tambah males nyewain baju kabaya itu Kang, kalo begini jadinya…” katanya sambil melirik Damin.

Damin hampir saja ngomong, tapi Marinah sudah memotong, “Udah, nyewa aja Neng, ini Bibi kasih uangnya. Siapa tau besok Neng bisa jadi Putri Indonesia, kan bisa terkenal kayak Ibu Kartini atau Enjelina Sondah!” kata Marinah sambil menyerahkan duit lima puluh rebu selembar pada anak perempuan itu. Anaknya jelas gembira, ibunya yang bingung, dan Damin  jelas sebel!

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More